Vasavattimaradhiraja yang
sekarang menjadi maharaja dari para dewa Mara yang bertinggal di Sorga
Paranimmitavasavatti adalah seorang Bodhisatta yang sedang menyempurnakan
paramathaparami untuk mencapai Kebuddhaan di masa mendatang. Usaha itu telah
dimulainya dalam hitungan asankheyya.
Semasa Sammasambuddha
Kassapa muncul di dunia, Maradhiraja terlahir sebagai seorang manusia yang
bernama Bodhi. Dia bekerja sebagai Senapati utama dan terpercaya dari Maharaja
King-kissa. Karenanya, dia juga dipanggil Bodhisenapati.
Pada suatu hari, Maharaja Kingkissa - yang mempunyai saddha terhadap Buddhasasana - mendengar bahwa Sang Buddha Kassapa sedang masuk ke dalam Nirodhasamapatti yang penuh kebahagiaan selama tujuh hari, di bawah naungan pohon beringin yang amat besar. Mendekati saat keluarnya Sang Buddha dari Nirodhasamapatti, Maharaja berpikir : 'Sang Buddha akan segera mengakhiri samadhi-Nya. Barang siapa mempersembahkan dana pada saat itu, akan mendapat berkah yang besarnya tak terhingga, apapun keinginannya akan tercapai. Saya tak akan menyia-nyiakan saat yang baik ini.' Lalu mengeluarkan perintah dan pengumuman pada rakyatnya.
'Barang siapa mendahului
Maharaja mempersembahkan dana pada Sang Buddha sesaat beliau mengakhiri
samadhi-Nya, saya akan menghukum pancung orang itu.'
Untuk itu Maharaja
memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjaga sekeliling pohon beringin
dimana Sang Buddha sedang melakukan samadhi.
Bila ada orang yang
datang hendak mempersembahkan dana, diperintahkannya untuk ditangkap. Bodhisenapati
tahu akan pengumuman itu. Namun, dia - yang mempunyai saddha yang amat kuat dan
bijaksana -tetap mempunyai keinginan untuk mempersembahkan dana kepada Sang
Buddha sesaat Beliau mengakhiri samadhi-Nya. Dia berpikir bahwa berkah yang
didapat amatlah besar. Dia tak akan menyesal walau harus mati karenanya.
Pada keesokan harinya, di
saat Sang Buddha akan mengakhiri samadhi, Bodhisenapati bersama istrinya,
menyiapkan makanan persembahan dan pergi menemui Sang Buddha.
Demi melihat
Bodhisenapati beserta istrinya, para prajurit penjaga bertanya : 'Wahai Tuan
Senapati, kenapa Tuan melanggar perintah Maharaja. Bukankah Tuan tahu bahwa
Maharaja melarang siapapun mempersembahkan dana kepada Sang Buddha? Maharaja
sendirilah yang akan mempersembahkan. Atau mungkin Tuan akan pergi ke tempat
lain?'
Mendengar itu
Bodhisenapati berpikir : 'Kalau seandainya saya berbohong kepada mereka, atau
menasehati Maharaja untuk mengundang Sang Buddha ke istana, tentu mereka akan
percaya dan mengikuti nasehat saya. Tapi, saya tak ingin melakukannya. Sebab,
dengan berbohong, berkah yang saya dapat tak akan sesuai dengan harapan. Jadi,
sebaiknya saya berkata dengan sesungguhnya, walau harus mati karenanya.'
Maka, iapun menjawab :
'Ya, kami akan mempersembahkan dana makanan pada Sang Buddha.'
Para prajurit itu pun
segera menangkap Bodhisenapati dan istrinya. Dan dibawa menghadap Maharaja
untuk diadili. Maharaja amat Marah karena dikhianati panglima perangnya dan
menjatuhi hukuman pancung terhadap Bodhisenapati dan istrinya.
Kassapa Sammasambuddha
tahu semua apa yang terjadi. Dengan mata Kebuddhaan-Nya, Beliau tahu siapa
Bodhisenapati. Beliau menaruh metta padanya.
Beliau segera menciptakan
bayangan sendiri untuk tetap tinggal di tempat semula, dan beliau sendiri pergi
menemui Bodhisenapati yang sedang menanti dilaksanakannya hukuman pancung
terhadapnya. Karena kesaktian-Nya, tak seorang pun bisa melihat kedatangan
Beliau selain Bodhisenapati dan istri. Lalu berkata : 'Wahai Bodhisenapati,
tetaplah tenang. Tetap pertahankan saddhamu. Jangan menyesali kehidupan ini.
Segera persembahkan dana makanan yang telah kau persiapkan dengan keyakinan
yang penuh terhadap Tathagata.'
Demi mendengar itu,
keyakinan Bodhisenapati semakin mantap. Dengan saddha dan piti yang telah
memenuhi batinnya, dipersembahkannya dana mereka pada Sang Buddha serta
mengucapkan panidhana :
'Sang Buddha sebagai guru
dan pelindung bagi semua makhluk. Saya telah rela menerima kematian demi
mempersembahkan dana makanan ini pada Sang Buddha. Semoga dana persembahan ini
menjadi penyebab bagi keinginan saya untuk mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha
di masa yang akan datang.'
Sambil mengelus kepala
Bodhisenapati, Sang Buddha Kassapa berkata :
'Apa yang kau harapkan
akan tercapai. Wahai Bodhisenapati, yakinlah, dimasa yang akan datang kau akan
mencapai pencerahan sebagai seorang Sammasambuddha.
Setelah dalam waktu yang
amat lama mengikuti daur kehidupan dan kematian dalam vattasamsara ini,
Bodhisenapati terlahir sebagai dewa Mara, menguasai Sorga Paranimitavasavatti.
Dan sempat bertemu dengan Sang Buddha Gotama, yang sebenarnya merupakan
kesempatan yang amat baik untuk berbuat kebajikan dan belajar Dhamma pada
Buddha Gotama.
Namun, kesempatan yang
amat baik itu sama sekali tidak dimanfaatkannya. Bahkan, sebaliknya, ia selalu
menghambat, menghalang dan mengganggu Sang Buddha; sejak awal usaha untuk
mencapai Kebuddhaan, hingga menjelang akhir dari kehidupan Sang Buddha. Sebagai
dewa puthujana yang amat sakti namun dikuasai oleh kilesa, dengan sombongnya ia
menguji dan menghalangi kegiatan Sang Buddha Gotama yang penuh metta. Namun,
segala perbuatan jeleknya itu tak (sampai) bisa digolongkan sebagai garuka
kamma yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka Avici, seperti
Bhikkhu Devadatta yang telah melukai Sang Buddha dan memecah belah Sangha.
Kiranya, perbuatannya itu
bisa diibaratkan sebagai seorang anak nakal atau durhaka yang selalu tak
menyetujui dan melawan orang tuanya. Dan ternyata, Sang Buddha pun tak pernah
meramalkan sesuatu yang jelek pada dewa Mara seperti kepada bhikkhu Devadatta.
Rupanya, kenakalan dewa
Mara muncul kembali manakala ia tahu ada seseorang yang berusaha melestarikan
dan mengembangkan Dhamma secara murni.
Itu terbukti saat Asoka
Maharaja akan mengadakan peresmian dan perayaan atas terselesaikannya pemugaran
candi-candi Buddha di India, kurang lebih 200 tahun setelah Sang Buddha
parinibbana. Ia berusaha mengganggu dan menggagalkan perhelatan besar itu.
Namun, kenakalannya itu bisa diredam oleh Upagupta Thera, yang membuat dewa
Mara jera dan menyesal. Kembali mengucapkan adhitthana untuk menjadi
Sammasambuddha.
Menjelang diadakannya
perhelatan peresmian dan perayaan atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha
dan pelestarian Buddhasasana yang diprakarsai oleh Asoka Maharaja, para bhikkhu
Arahat dan menguasai Abhinna, berkumpul diketuai oleh Moggalliputta Tissa
Thera. Mereka membicarakan tentang maksud dewa Mara yang akan datang mengganggu
dan menghalangi terlaksananya perhelatan tersebut. Walaupun para bhikkhu itu
telah mencapai Kearahatan dan menguasai Abhinna, namun mereka merasa tak seorang
pun mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara. Mereka mengetahui dengan mata dewa
mereka, hanya seorang bhikkhu yang mampu mengatasi dewa Mara. Dia adalah
Kisanaga Upaguta Thera juga disebut Upagupta Thera ) yang saat itu berdiam di
dasar samudera Hindia.
Sang Buddha pernah
meramalkan bahwa di masa yang akan datang akan muncul seorang bhikkhu bernama
Upagupta yang akan meredam kejahatan dewa Mara dengan kesaktiannya yang membuat
Mara sadar akan kesalahannya.
Upagupta Thera adalah
seorang bhikkhu yang amat sederhana dan lebih suka tinggal sendiri di
tempat-tempat yang hening. Tak suka berkumpul beramai-ramai. Dia suka
mengembara di hutan-hutan, juga di samudera. Bila tinggal di dasar laut, ia
akan menciptakan kuti dari kaca, dan tinggal sendiri dengan tenang dalam jhana
samapatti berlama-lama. Tanpa makan dan minum. Hingga badannya amat kurus.
Karenanya, ia dinamakan bhikkhu Kisanaga Upagupta.
Pasamuan Sangha
memutuskan mengirim dua orang bhikkhu mengundang bhikkhu Upagupta untuk
mengatasi gangguan dewa Mara.
Maka dalam sekejap, dua
bhikkhu sakti itu telah tiba dihadapan bhikkhu Upagupta. Setelah saling tegur
dengan Dhamma patisanthara, bhikkhu utusan itu berkata:
'Avuso Upagupta, kami
diutus oleh Pasamuan bhikkhu mengundang Anda untuk ikut membantu terlaksananya
perhelatan kita. Kami dengar Mara akan datang menggagalkan maksud kami. Sangha
menugaskan Anda untuk mengatasi Mara. Kami harap Anda tak menolak tugas ini.'
Bhikkhu Upagupta pun
menjawab :
'Baiklah Avuso, saya
menyanggupi tugas ini. Sekarang silakan Avuso pergi lebih dulu. Saya segera
akan menyusul.'
Maka, menghilanglah kedua
bhikkhu itu dari hadapan Upagupta Thera dan muncul kembali di tengah-tengah
Pesamuan para bhikkhu. Tapi, apa yang mereka lihat? Ternyata bhikkhu Upagupta
telah tiba lebih dulu. Duduk dengan tenangnya di hadapan Moggalliputta Tissa
Thera.
Keesokan harinya, bhikkhu
Upagupta pergi pindapata, menerima dana makanan dari para upasaka-upasika. Kala
itu Asoka Maharaja melihat bhikkhu Upagupta yang bertubuh amat kurus, merasa
ragu-ragu : 'Dewa Mara terkenal amat sakti. Mungkinkah orang sekurus bhikkhu
Upagupta itu mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara?' Untuk meyakinkan dirinya,
ia ingin menguji kemampuan bhikkhu kurus itu. Maka, dengan segera ia memanggil
pengawalnya dan memerintahkan membuat mabuk seekor gajah istana yang besar dan
dilepas menghadang perjalanan bhikkhu Upagupta.
Sang gajah dengan liar
dan ganasnya segera menyerang bhikkhu Upagupta.
Melihat itu, Upagupta
Thera segera masuk ke dalam metta jhana dan mengirimkan getaran metta ( cinta
kasih ) pada gajah yang sedang mabuk itu, membuat sang gajah tersadar dari
keadaan mabuknya. Kembali menjadi gajah istana yang perkasa tapi jinak dan
manis. Dengan lembutnya, ia menekuk kaki depannya dan bernamakkara di hadapan
Upagupta Thera. Upagupta Thera mengelus kepala si gajah lalu dengan tenang
meneruskan perjalanan.
Perhelatan yang konon
dilaksanakan selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari itu dibuka langsung
oleh Maharaja Asoka dengan hati yang tenang karena ia yakin pada kemampuan
bhikkhu Upagupta.
Perayaan itu dibuat amat
meriah dan mewah. Lampu-lampu hias dan penerangan amatlah indah dan cemerlang.
Terutama lilin-lilin, bunga-bunga serta dupa pemujaan di altar Sang Buddha
ditata begitu indahnya. Sabda-sabda Sang Buddha dilantunkan kembali oleh para
bhikkhu dengan suara yang teratur dan merdu. Suasana benar-benar sakral dan
menyejukkan hati. Rakyatpun amat bersuka hati dengan diadakan keramaian itu.
Raja yang dermawan dan bijaksana itu berhasil merebut hati rakyatnya dengan
penerapan Dhamma yang benar.
(Pengabdian Asoka
Maharaja terhadap Buddhasasana bukan hanya pemugaran candi-candi Buddha di
India. Namun, juga mendukung diadakannya Sangayana yang ketiga. Mendukung
pengiriman para Dhammaduta ke luar negeri. Yang terkenal diantaranya yaitu,
putra-putrinya sendiri, Mahinda Thera dan Sanghamitta Theri yang dikirim ke Sri
Langka. Mahinda Thera mengadakan Sangayana disana. Sementara Sanghamitta Theri
mendirikan Sangha Bhikkhuni. Dan, Dhammaduta yang diketuai oleh Sona Thera dan
Uttara Thera yang menyebarkan Dhamma ke Burma, Thailand dan sekitarnya, sempat
mampir ke pulau Jawa sejenak. Namun, karena perjalanan ke tenggara itu amat
berat, tak seorang bhikkhuni pun menyertai sebagai Dhammaduta sehingga tidak
terdapat Sangha Bhikkhuni di tempat yang dikunjungi Sona Thera dan Uttara
Thera).
Namun, perhelatan yang
memang telah direncanakan amat meriah dan menarik itu, ternyata masih ditambah
dengan suatu pertunjukan seru dan mengerikan yang tak diduga sebelumnya.
Membuat suasana semakin meriah. Itu disebabkan oleh ulah dewa Mara yang merasa
tak senang atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan kini sedang
dirayakan. Hatinya merasa gatal melihat kejayaan Buddhasasana.
Dengan segera ia turun
dari Sorga Paranimitavasavatti dan menciptakan badai, angin puyuh yang dahsyat
menyapu segala perlengkapan perhelatan yang telah diatur sedemikian indah.
Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk jhana dan ber-adhitthana menghentikan
badai dahsyat itu dan mengembalikan segala sesuatu yang telah porak poranda ke
tempatnya semula. Dewa Mara terkejut dan merasa terhina demi melihat lawannya
hanyalah seorang bhikkhu yang bertubuh amat kurus dan jangkung. Dia merubah
diri menjadi seekor kerbau hutan yang amat besar dan ganas. Mengamuk dan
merusak barang-barang di sekitarnya. Lalu berlari menubruk hendak melumat tubuh
bhikkhu Upagupta.
Sang Thera mengubah diri
menjadi seekor harimau yang jauh lebih besar dari kerbau hutan itu. Langsung
menerkam dan menangkap si kerbau, membuat si kerbau menguak dan meraung
kesakitan. Harimau besar tidak juga melepaskan kerbau yang telah tak berdaya
itu, membuat Mara semakin marah dan mengubah diri menjadi seekor naga. Meronta,
membebaskan diri dan menyemburkan api beracun menyerang harimau besar. Dengan
cepat harimau itu mengubah diri menjadi seekor garuda yang amat besar.
Menyambut serangan nagaraja dengan paruhnya yang menganga lebar.
Maka, berlagalah kedua
makhluk dahsyat itu dengan serunya. Segala jurus dan usaha dari nagaraja untuk
membelit dan menundukkan raja garuda selalu gagal. Dengan lincah dan ligatnya
garuda menghindar dan membalas serangan sang naga. Api berbisa yang
berkobar-kobar pun seolah-olah bagaikan angin sepoi-sepoi dirasakan garuda.
Akhirnya, sang garuda
berhasil menangkap leher naga dengan paruhnya. Diterkamnya tubuh sang naga
dengan cakarnya yang besar dan tajam serta dibawa terbang ke udara. Dalam
keadaan yang tak berdaya, badan sang naga terombang-ambing di udara lalu
dihempaskan kembali ke bumi. Mara semakin gusar dengan kekalahan yang membawa
siksa ini.
Ia segera mengubah diri
menjadi raksasa yang amat besar dengan taring yang mengerikan. Tangan kanannya
menggenggam gada pemukul sebesar pohon kelapa. Meraung-raung menyerang garuda.
Namun, garuda pun segera berubah menjadi raksasa pula. Badannya lebih besar dan
kedua tangannya memegang gada pemukul pula. Menyambut serangan raksasa Mara.
Saling serang, saling mengelak. Bumi pun berdentam-dentam akibat hempasan kaki
kedua raksasa. Pukulan-pukulan raksasa Mara sering tidak mengenai sasaran
bahkan kalau mengena pun seolah tak dirasa oleh raksasa ciptaan Sang Thera.
Namun, pukulan raksasa ciptaan Sang Thera terasa amat menyakitkan di tubuh
maupun hati raksasa Mara. Tubuhnya terasa remuk redam dan hatinya pun merasa
amat sakit dan pilu menerima setiappukulan yang mengena.
Dewa Mara teringat saat
bersama pasukannya menyerang Sang Buddha. Semua senjata yang dilontarkan
menyerang tubuh Buddha Gotama berubah menjadi rangkaian besar bunga yang indah
memayungi Sang Buddha. Pasukannya mundur tersapu badai. Sang Buddha membalas
serangan-serangan dahsyat Mara dengan metta. Beliau sama sekali tidak membalas
serangan dengan siksaan seperti yang diterimanya sekarang.
Bhikkhu Upagupta - murid
Sang Buddha itu - telah membuatnya benar-benar tak berdaya dan tersiksa.
Tubuhnya kembali menjadi dewa Mara, terpuruk lemas di hadapan Sang Thera yang
berdiri dengan tenangnya.
Sebenarnya, ia ingin
mengerang dan merintih karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun, perasaan
angkuh yang masih menguasai dirinya membuatnya bungkam seribu basa. Rupanya,
penderitaan yang dialaminya itu belum mampu menghancurkan kesombongan dan
keangkuhan yang selama ini menjadi kebanggaannya. Dengan pasrah ia menunggu apa
yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya, karena memang tak mampu berbuat
selain dari itu.
Dengan kesaktiannya,
Upagupta Thera menciptakan bangkai anjing yang telah berbau sangat busuk dan
berulat. Lalu dikalung-kan pada leher dewa Mara serta beradhitthana :
'Tak seorang pun, dewa
bahkan brahma yang mampu melepas bangkai anjing ini dari lehermu.'
Dewa Mara pun amat
terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan kembali mengendalikan
batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari pertolongan pada dewa
Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika hanya bisa menjawab :
'Tuanku, Tuan saja yang
lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'
Begitupun ketika minta
pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dari dewa-dewa Catumaharajika,
seperti Yamadhiraja dan lain-lain.
Mereka menjawab :
'Tuanku, Tuan saja yang
lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'
Mendengar jawaban itu, ia
tak segera putus asa. Ia terbang menemui dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk
minta pertolongan melepas bangkai anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.
'Wahai Maha Brahma yang
sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai anjing ini dari leher saya.
Bangkai anjing ini semakin lama semakin busuk saja.'
'Sayang sekali, dewa
Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi, sebenarnyalah, tak seorang pun
dewa atau Brahma di tiga alam ini yang mampu melepas bangkai yang menghiasi leher
Anda itu. Hanya ada satu orang yang mampu melakukannya.'
'Katakanlah Tuan, siapa
yang mampu melakukannya?' tanya dewa Mara penuh harap. Tapi, jawaban Maha
Brahma membuatnya berkecil hati kembali.
'Dia adalah Upagupta
Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.'
'Murid Gotama itu telah
menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah aku harus merengek-rengek padanya?
Maha Brahma, saya merasa keberatan berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh
dimanakah muka saya ini?'
'Wahai dewa Mara. Kami
nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera adalah seorang yang penuh metta
seperti Buddha Gotama gurunya. Atau Anda menunggu hingga Sang Thera
Parinibbana? Lalu, siapa pula yang mampu melepas bangkai itu dari leher Anda?
Apakah Anda menghendaki perhiasan itu selama hidup Anda?'
Maka, dewa Mara pun
berpikir : 'Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu itu yang mampu melepaskannya,
aku akan pergi padanya. Bila telah terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku
akan pergi dan tak ingin melihat mukanya lagi.'
Setelah berpamitan, maka
ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.
Bhikkhu Upagupta duduk
samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang menunggu kedatangan dewa Mara.
Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera, menunggu dengan tertibnya.
'Dewa yang baik, kau
telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?' tegur Sang Thera. Mendengar
pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti seorang anak nakal yang ditegur
ayahnya.
'Bhante, lepaskanlah
bangkai ini dari leher saya.' Hanya itu yang diucapkannya. Sang Thera pun tahu
bahwa dewa sakti itu masih tetap dikuasai kesombongan dan keangkuhan.
Bhikkhu Upagupta berdiri.
Melolos ikat pinggangnya serta melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu
memanjang di udara, jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh
dewa Mara.
Tubuh yang telah terikat
erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh
Sang Thera, dibawa
terbang menuju puncak gunung Himalaya.
'Lebih baik kau
beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan Asoka Maharaja
berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa mengganggunya,' kata bhikkhu Upagupta
sambil mengikat tubuh dewa Mara pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun
beradhitthana :
'Tak seorang pun, dewa
bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.' Dan ditinggalnya Mara terikat
sendirian di atas sana selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah
menderitanya dewa malang itu. Ia hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa
bisa melepaskan diri.
Hari berganti minggu,
minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Akhirnya, tiba pula saatnya
perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu Upagupta pergi ke tempat dewa Mara
terikat sedang merenungi dan meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa
Mara. Sang Thera sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara
telah jera atau belum.
Mara yang tahu bahwa hari
itu adalah hari berakhirnya perhelatan besar, yang berarti akan terbebaskannya
dirinya dari derita setelah tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing
busuk dan badan terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.
Baru kali ini dia punya
kesempatan merenungkan semua tindakan dan tingkah laku yang salah di masa lalu.
Dalam keadaan tak berdaya, batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang
terhebat di dunia ini!
Dia teringat, karena
pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang tak pernah berbuat salah
padanya, dengan segala macam cara. Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai
kesucian tertinggi, terbebas dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya
yang cantik menggairahkan.
Sammasambuddha Gotama
yang menguasai segala kesaktian, dia serang dengan kekuatan penuh, dengan
pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha mengalahkannya tanpa menyakitinya,
tanpa menyiksanya. Keusilannya belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta
Buddha Gotama untuk segera memasuki Parinibbana.
Begitupun ketika
Buddhasasana, karya Sang Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha
tak pernah mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah
menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang yang tak
bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah mengusilinya.
Dan kini, karena ulahnya
itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa karenanya. Murid Buddha Gotama yang
muncul dua ratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya
pelajaran yang amat berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya
terbuka lebar. Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya
dirinya, betapa bodohnya dirinya.
Mengingat itu semua, dia
merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat malu pada Buddha Gotama. Dia
merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta. Dan lebih dari itu semua, ia merasa
amat malu pada diri sendiri. Dia menyesali diri sendiri yang telah buta
terhadap kebaikan. Mengabaikan kesempatan yang amat langka.
Akhirnya, ia merasa amat
marah terhadap dirinya sendiri. Giginya mengatup, menggeretak. Dengan geram ia
meronta. Dihentakkannya kakinya beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang.
Salju pun pecah bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran
sungai Gangga.
Setelah melampiaskan
kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara merasa lilih, tenang. Pikirannya
menjadi semakin jernih.
'Alangkah beruntungnya
aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu menyadarkan diriku. Apa yang
terjadi bila tak seorang pun mampu mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat
pada kejahatan. Tapi, akan lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai
Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari semua
makhluk' pikirnya.
Maka, di kesunyian puncak
Himalaya yang amat dingin dan penuh salju, dengan lantangnya dewa Mara,
penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu, beradhitthana : 'Wahai alam semesta
dan seisinya, saksikanlah, aku, Maradhiraja penguasa sorga
Paranimmittavasavatti, sejak saat ini, menyatakan diri berlindung pada Buddha,
Dhamma dan Sangha, bertekad akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai
penerangan sempurna sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua
makhluk.
' Sesudah menguncarkan
adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan
dan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Tiba-tiba, muncullah
Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu dewa Mara menegur Sang Thera :
'Bhante, berarti sejak tadi Bhante telah berada di sekitar tempat ini.'
'Benar, dewa yang baik.
Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar apa yang Anda katakan. Maka dari
itu, ijinkan saya menyampaikan hormat saya pada Anda, seorang Bodhisatta.'
'Tapi, Bhante dengan
begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak ingin menjadi seorang Arahat
seperti Bhante, karena saya tak ingin ada orang tersiksa seperti saya. Saya
ingin menjadi Sammasambuddha yang penuh welas asih.'
Dengan tersenyum geli,
Upagupta Thera berkata :
'Dewa yang baik,
janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita di masa lampau, kita
berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti. Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah
yang menang dan berhasil mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar.
Itu tugas akhir saya
terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang akan
datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa tersiksa karenanya.
Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih. Tapi, semata-mata karena
kewajiban yang harus saya lakukan.'
'Bhante benar. Tak ada
lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa amat berterima kasih pada Bhante
yang telah menolong saya untuk kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante ...,
telah terlalu lama saya menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang.
Saya telah rindu pada kebahagiaan sorgawi di istana saya' pintanya.
Bhikkhu Upagupta
memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Maka,
terurailah ikat pinggang yang membelit tubuh dewa Mara, melayang di udara,
menjadi pendek seperti semula dan jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai
anjing di leher Mara pun lenyap seketika.
Dewa Mara menarik napas
dengan lega. Dia merasa amat kagum pada kesaktian Sang Thera, murid Sang
Buddha. Kalau muridnya saja begitu sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha.
'Sebelum Anda kembali ke tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?'
tanya Upagupta Thera setelah membebaskan dewa Mara.
'Tentu, Bhante. Apakah
yang harus saya perbuat untuk Bhante?'
'Wahai dewa Mara. Dalam
satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya dilahirkan jauh sesudah Sang
Tathagata parinibbana. Karenanya, saya tak pernah bertemu dan melihat langsung
bagaimanakah rupa dari Guru saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung
dari pada saya. Anda pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya
harap Anda mau mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat
bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.'
'Baiklah, Bhante. Tapi,
dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi. Bila saya telah mengubah diri
menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante namakkara pada saya. Saya tak sanggup
lagi menerima buah kamma buruk karenanya,' kata Mara penuh kekhawatiran.
'Baiklah,' jawab Sang
Thera.
Maka, Mara mengubah diri
menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua
ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan dengan anggunnya diiringi oleh Asitimahasavaka
(delapan puluh murid-murid utama).
Setelah cukup lama
memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat, Upagupta Thera melakukan
namakkara di hadapan Sang Buddha.
Dengan segera lenyaplah
pemandangan Sang Buddha beserta murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang
sedang berdiri dengan muka cemberut memandang Sang Thera.
'Mengapa Bhante
mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya? Lalu, buah kamma apa
lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya telah banyak berbuat jahat pada
Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa dengan badan terikat di puncak Himalaya
ini,' kata Mara dengan penuh kecemasan.
'Janganlah anda cemas.
Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta tidak melakukan namakkara pada
dewa Mara. Saya melakukan namakkara pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama
sekali tak berpengaruh pada anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk
karenanya. Terima kasih atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat
Anda di sorga Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di
laut selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.' Maka lenyaplah Sang Thera dari pandangan
dewa Mara.
Dewa Mara pun segera
kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan sorga yang tertinggi di antara
sorga para dewa.
Kini, Maradhiraja yang
biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti
sebagai seorang Bodhisatta yang sedang menghimpun Dasaparami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar