PELAYANAN KEPADA ORANG SAKIT
DAN
SAKIT MENJELANG KEMATIAN
oleh: Lily de Silva
Buddhist Publication Society Bodhi Leaves
( BL 132 )
Sang Buddha menasehati murid-muridNya tentang pentingnya pelayanan kepada orang
sakit. Beliau bersabda :"Seseorang yang merawat orang sakit, berarti ia
telah merawat Saya". Pernyataan terkenal ini dibuat oleh Yang Terberkati
saat Beliau menemukan seorang bhikkhu yang sedang berbaring dalam jubah
kotornya. Bhikkhu tersebut dalam keadaan sakit parah karena serangan disentri.
Dengan bantuan Ananda, Sang Buddha mencuci dan membersihkan bhikkhu sakit itu
dengan air hangat. Dalam kesempatan ini, Beliau mengingatkan para bhikkhu bahwa
mereka tidak mempunyai orang tua maupun sanak keluarga yang menjaga mereka,
maka mereka harus menjaga satu sama lain. Jika guru sedang sakit, murid
mempunyai kewajiban untuk menjaganya, dan jika murid sakit, guru berkewajiban
menjaga murid yang sakit. Jika tidak ada guru atau murid, maka masyarakat
berkewajiban menjaga orang sakit (Vin.i,301ff.).
Pada kesempatan lain, Sang Buddha
menjumpai seorang bhikkhu yang tubuhnya dipenuhi dengan luka, jubah lengket di
tubuhnya dengan nanah keluar dari luka-lukanya. Para teman bhikkhu telah
meninggalkannya karena tidak dapat menjaganya. Saat menemui bhikkhu ini, Sang Buddha
merebus air dan mencuci bhikkhu tersebut dengan tanganNya sendiri, selanjutnya
membersihkan dan mengeringkan jubahnya. Saat bhikkhu tersebut telah nyaman,
Sang Buddha memberikan khotbah kepadanya dan ia menjadi arahatta, tidak lama
setelah menjadi arahatta, ia meninggal dunia (DhpA.i,319). Oleh karena itu Sang
Buddha tidak hanya mendukung pentingnya merawat orang sakit, Beliau juga
memberi contoh baik dengan diriNya sendiri memberikan pelayanan kepada mereka
yang sangat sakit, mereka yang bahkan dianggap menjijikkan bagi orang-orang
lain.
Sang Buddha menyebutkan
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang perawat baik. Ia harus mampu
memberikan obat, ia harus mengetahui apa yang bermanfaat untuk pasien dan apa
yang tidak bermanfaat. Ia harus menjauhkan apa yang tidak bermanfaat dan hanya
memberikan apa yang bermanfaat bagi pasien. Ia harus mempunyai cinta kasih dan
murah hati, ia harus melakukan kewajibannya atas kesadaran untuk melayani dan
bukan hanya untuk imbalan (mettacitto gilanam upatthati no amisantaro). Ia
tidak boleh merasa jijik terhadap air liur, lendir, air kencing, tahi, luka,
dll. Ia harus mampu menasehati dan mendorong pasien dengan ide-ide mulia,
dengan pembicaraan Dhamma (A.iii,144).
Patut diperhatikan di sini bahwa
perawat tidak hanya diharapkan cakap dalam merawat badan dengan memberi makanan
dan obat yang tepat, tetapi ia juga diharapkan untuk merawat kondisi batin
pasien. Diketahui bahwa kebaikan para perawat dan dokter adalah obat yang
hampir sama effektifnya untuk semangat juang dan kesembuhan seorang pasien.
Saat seseorang sedang sakit parah dan merasa tidak berdaya, suatu kata ramah
atau suatu tindakan baik menjadi sumber kesenangan dan harapan. Itulah sebabnya
cinta kasih (metta) dan belas kasihan (karuna), yang juga merupakan
perasaan-perasaan mulia (brahmavihara), dianggap sebagai sifat-sifat yang patut
dipuji dalam seorang perawat. Sutta-sutta menambahkan dimensi lain bagi profesi
perawatan dengan memasukkan elemen spiritual dalam pembicaraan perawat. Keadaan
sakit adalah saat seseorang sedang menghadapi kenyataan-kenyataan hidup dan
kondisi ini adalah suatu kesempatan baik untuk menanamkan suatu kesadaran
spiritual yang mendesak, bahkan dalam batin yang paling materialistis
sekalipun. Lebih lanjut lagi, seseorang yang sedang sakit tentunya mempunyai
perasaan takut pada kematian yang lebih besar daripada saat ia sedang sehat.
Cara-cara yang paling bagus untuk menenangkan perasaan takut ini adalah dengan
mengalihkan perhatian kepada Dhamma. Dalam pengawasannya, perawat diharapkan
memberikan bimbingan spiritual kepada pasien sebagai suatu bagian dan paket
dari kewajiban seorang perawat.
Dalam Anguttara Nikaya, Sang
Buddha menyebutkan tiga jenis pasien (A.i,120). Terdapat pasien yang tidak akan
sembuh apakah mereka mendapatkan atau tidak mendapatkan pelayanan pengobatan
dan perawatan yang tepat; terdapat pasien yang akan sembuh tidak peduli apakah
mereka mendapatkan atau tidak mendapatkan pelayanan pengobatan dan perawatan
yang tepat; terdapat pasien yang akan sembuh hanya dengan pengobatan dan
perawatan yang tepat. Karena adanya jenis pasien ke tiga inilah, maka semua
yang sakit harus diberi pengobatan tersedia yang terbaik, makanan yang
bermanfaat dan perawatan yang tepat. Selama pasien masih hidup, segala yang
dapat dilakukan harus diusahakan untuk kesembuhannya.
Menurut sutta lainnya
(A.iii,56,62), penyakit adalah salah satu yang tidak dapat dihindari dalam
kehidupan. Saat menghadapinya, semua sumber yang tersedia bagi seseorang,
bahkan mantra-mantra gaibpun, seharusnya dimanfaatkan dengan harapan untuk
mengembalikan kesehatan.Di sini tidak akan dibahas masalah perbuatan-perbuatan
seperti itu bermanfaat atau tidak. Nampaknya inti permasalahan adalah dalam
keadaan kritis tidak ada buruknya untuk mencoba, bahkan metode yang secara
tradisi dipercaya akan membawa hasil, walaupun orang yang bersangkutan tidak
harus mempunyai keyakinan atau kepercayaan pada metode tersebut. Tentunya,
metode-metode demikian seharusnya tidak bertentangan dengan hati nurani
seseorang. Walaupun dengan upaya-upaya ini, jika kematian tetap datang, maka
seseorang harus menerimanya sebagai hasil dari kamma dengan ketenangan hati dan
kebijaksanaan.
Di sini, kita diingatkan akan
sebuah peristiwa (MA.i,203) pada saat seorang ibu yang sedang sakit parah
memerlukan daging kelinci sebagai pengobatan. Sang putra tidak mendapatkan
daging kelinci di pasar umum, ia mencari seekor kelinci. Ia berhasil menangkap
seekor kelinci tetapi ia sangat membenci membunuhnya walau pembunuhan tersebut
demi ibunya. Ia melepaskan kelinci dan mengharapkan ibunya sembuh. Kebajikan
moral putra bersama pengharapannya secara serentak membawa kesembuhan ibu.
Tradisi Buddhis nampaknya menekankan bahwa kekuatan kebajikan dalam
keadaan-keadaan tertentu mempunyai sifat-sifat penyembuhan yang dapat bekerja
bahkan dalam kasus-kasus saat pengobatan umum tidak berhasil.
Bab pengobatan-pengobatan di
Vinaya Mahavagga (Vin.i,199ff.) menunjukkan bahwa Sang Buddha mengendorkan
beberapa peraturan tata tertib minor untuk menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan para
bhikkhu yang sakit. Walaupun seorang disiplin yang keras, Sang Buddha
menunjukkan rasa simpati dan pengertian besar kepada mereka yang sakit. Nilai
kesehatan telah disadari sepenuhnya dan bahkan dikenal sebagai keuntungan yang
terbesar (arogyaparama labha, Dhp.204).
Sang Buddha mengajarkan bahwa
agar sembuh, pasien juga harus bekerja sama dengan dokter dan perawat. Seorang
pasien baik seharusnya hanya menerima dan melakukan apa yang bermanfaat
baginya. Bahkan dalam memakan makanan yang bermanfaat sekalipun, ia harus
mengetahui jumlah yang tepat. Ia harus meminum resep obat tanpa merepotkan. Ia
harus dengan jujur memberitahu penyakit-penyakitnya kepada perawatnya yang
sadar atas kewajiban. Ia harus dengan sabar menahan rasa sakit jasmani bahkan
saat rasa sakit tersebut sangat nyeri dan menyiksa (A.iii,144).
Sutta-sutta menunjukkan bahwa
Sang Buddha menggunakan kekuatan tekad dan ketenangan yang luar biasa pada saat
Beliau jatuh sakit. Beliau mengalami rasa sakit yang menyiksa saat serpihan
batu tajam yang dilemparkan oleh Devadatta kepadaNya menusuk kaki Beliau.
Beliau menahan sakit dengan penuh kesadaran dan ketenangan, dan tidak dikuasai
oleh rasa sakit (S.i,27, 210). Selama masa sakitNya yang terakhir, Sang Buddha
juga dengan penuh kesadaran menahan rasa sakit jasmani yang besar, dan dengan
keberanian yang mengagumkan Beliau berjalan dari Pava ke Kusinara bersama
pendamping setiaNya, Ananda, sambil beristirahat di beberapa tempat untuk
mengurangi kelelahan (D.ii,128,134). Maha-parinibbana sutta juga menceritakan
bahwa Sang Buddha pernah dengan keras menyembunyikan penyakit yang berbahaya di
Beluvagama dan Beliau sehat kembali (D.ii,99).
Nampaknya mereka yang mempunyai
perkembangan batin tinggi mampu menahan penyakit, setidaknya pada
kondisi-kondisi tertentu. Suatu waktu Nakulapita mengunjungi Sang Buddha yang
telah berusia lanjut, dan Sang Guru menganjurkannya agar tetap menjaga
kesehatan batin walaupun badan sedang lemah (S.iii,1). Terdapat rasa sakit
jasmani dan batin (dve vedana kayika ca cetasika ca). Saat seseorang mempunyai
rasa sakit jasmani, jika ia menjadi cemas dan menambahkan rasa sakit batin
juga, maka hal itu seperti ditembak dengan dua panah (S.iv,208). Seseorang yang
berkembang secara spiritual mampu menjaga kesehatan batin seimbang dengan perkembangan
spiritualnya. Karena spiritual seorang arahatta telah berkembang sepenuhnya, ia
mampu hanya mengalami rasa sakit jasmani tanpa rasa sakit batin (so ekam
vedanam vediyati kayikam na cetasikam, S.iv,209).
Sejumlah sutta menganjurkan
pembacaan unsur-unsur pencerahan (bojjhanga) dengan tujuan untuk penyembuhan
penyakit-penyakit jasmani. Pada dua peristiwa, saat para bhikkhu senior
Mahakassapa dan Mahamoggallana sedang sakit, Sang Buddha membacakan unsur-unsur
pencerahan dan diceritakan bahwa para bhikkhu tersebut kembali sehat
(S.v,79-80). Mungkin perlu dicatat bahwa semua bhikkhu yang bersangkutan adalah
arahatta, mereka telah mengembangkan unsur-unsur pencerahan secara penuh. Bojjhanga
Samyutta juga menceritakan bahwa suatu waktu Sang Buddha sakit, Beliau meminta
Cunda membacakan unsur-unsur pencerahan (S.v,81). Sang Buddha merasa senang
dengan pembacaan tersebut dan diceritakan Beliau kembali sehat. Pada peristiwa
lainnya, saat bhikkhu Girimananda sakit parah (A.v,109), Sang Buddha
memberitahu Ananda bahwa jika khotbah tentang sepuluh kesadaran (dasa sañña)
disampaikan kepadanya, ia mungkin menjadi sehat. Sepuluh kesadaran adalah
kesadaran tentang ketidakkekalan, tanpa diri, kekotoran badan, akibat-akibat
buruk (tentang adanya jasmani), pelenyapan (kesenangan-kesenangan nafsu),
ketidakmelekatan, penghentian, kekecewaan dengan seluruh duniawi,
ketidakkekalan semua benda, dan konsentrasi pernafasan. Ananda mempelajari
khotbah tersebut dari Sang Buddha, mengulangi khotbah untuk Girimananda, dan
dilaporkan bahwa Girimananda menjadi sembuh.
Suatu waktu, Sang Buddha
mendengar bahwa seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan sedang sakit parah, ia
tidak dikenal di antara anggota para bhikkhu. Sang Buddha mengunjunginya. Saat
ia melihat Sang Buddha mendatanginya, ia bergerak di tempat tidurnya dan
mencoba berdiri, tetapi Sang Buddha memperingatkannya untuk tidak berdiri.
Setelah duduk, Sang Buddha menanyakan kesehatannya, apakah rasa sakitnya
berkurang atau tidak berkurang. Bhikkhu itu menjawab bahwa ia merasa sangat
sakit dan lemah, bahwa rasa sakitnya bertambah dan tidak berkurang.
Selanjutnya, Sang Buddha menanyakan apakah ia mempunyai perasaan ragu-ragu atau
penyesalan apapun. Bhikkhu menjawab bahwa ia mempunyai banyak keragu-raguan dan
penyesalan. Selanjutnya, Sang Buddha bertanya apakah ia menyalahkan diri
sendiri atas pelanggaran apapun. Ia berkata tidak. Setelahnya, Sang Buddha
bertanya mengapa ia merasa menyesal jika ia tidak bersalah atas pelanggaran
apapun. Bhikkhu menjawab bahwa Sang Buddha tidak mengkhotbahkan ajaran untuk
kesucian kebajikan, melainkan ketidakmelekatan dari nafsu duniawi (ragaviragatthaya).
Merasa senang, Sang Buddha menyebutkan 'Sadhu... Sadhu' dalam pujian.
Maka Sang Buddha mengkhotbahkan
ajaran tersebut kepada bhikkhu itu. Beliau menjelaskan bahwa perasaan-perasaan
adalah tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa inti, maka mereka seharusnya
tidak dianggap sebagai "aku" dan "milikku". Pengertian atas
sifat mereka sebenarnya, murid baik menjadi tidak melekat dengan perasaan-perasaan.
Saat penjelasan Dhamma ini diberikan, penglihatan tentang kebenaran (dhammacakkhu)
terjadi pada sang bhikkhu; ia menyadari bahwa apapun yang mempunyai sifat
timbul tentunya mempunyai sifat tenggelam. Dalam kata lain, ia menjadi seorang
sotapanna, seorang pemasuk arus.
Menurut Sotapattisamyutta, suatu
ketika Anathapindika sedang sakit parah, dan Yang Mulia Sariputta
mengunjunginya atas permintaan Anathapindika (S.v,380). Atas pemberitahuan
bahwa rasa sakit tersebut sangat parah dan bertambah, Sariputta mengingatkan
Anathapindika akan kebaikan-n-kebaikannya sendiri. Sariputta menjelaskan bahwa
makhluk awam, yang tidak mempunyai keyakinan pada Buddha, Dhamma dan Sangha dan
tidak memelihara kebiasaan-kebiasaan kebajikan, akan merasakan kesedihan atas
kehancuran tubuh. Tetapi Anathapindika mempunyai keyakinan yang tak tergoyahkan
pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan telah memelihara kebiasaan-kebiasaan moral
baik. Sariputta memberitahuinya bahwa saat sifat-sifat mulia ini dipahami
dengan penuh kesadaran, rasa sakit akan mereda.
Lebih lanjut lagi, Sariputta
menunjukkan bahwa orang awam mencapai keadaan sedih atas kehancuran tubuh
karena mereka belum mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tetapi
sebaliknya Anathapindika telah mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Saat
perhatian ditujukan pada mereka dan sifat-sifat mulia dipahami, rasa sakit akan
reda. Diceritakan bahwa rasa sakit pun mereda dan Anathapindika sembuh dari
penyakit itu. Lebih lanjut lagi, Anathapindika bangun dari tempat tidur dan
melayani Sariputta dengan makanan yang telah disediakan oleh dirinya sendiri.
Sotapattisamyutta mencatat
peristiwa lainnya saat Anathapindika sakit (S.v,385). Yang Mulia Ananda
dipanggil ke tempat tidur dan ia memberikan sebuah kotbah. Ananda menjelaskan
bahwa orang awam biasa yang tidak mempunyai keyakinan pada Buddha, Dhamma dan
Sangha serta yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tak bermoral akan mengalami
kegelisahan dan ketakutan saat kematian datang. Tetapi pengikut baik yang
mempunyai keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha serta yang
mengembangkan kebiasaan-kebiasaan bermoral tidak akan mengalami kegelisahan dan
ketakutan atas kematian. Selanjutnya Anathapindika mengakui keyakinan tak
tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan menyatakan bahwa ia dianugerahi
dengan kebajikan tak ternoda. Ananda menyatakan bahwa hal ini sesungguhnya
adalah suatu pencapaian besar bahwa Anathapindika telah menunjukkan buah dari
pencapaian pemasuk arus. Tetapi, tidak dilaporkan apakah Anathapindika sembuh
seketika.
Sang Buddha menyarankan bahwa
seorang bhikkhu seharusnya tidak mengurangi tenaga dan tekadnya untuk
perkembangan spiritual, bahkan saat ia sakit (A.iv,335). Mungkin saja
penyakitnya akan memburuk, dan sebelum hal itu terjadi, pengembangan spiritual
harus dilaksanakan sebanyak mungkin. Setelah sembuh dari penyakit, seseorang
juga tidak boleh lalai, karena jika penyakit kambuh lagi, kemungkinan
pencapaian spiritual yang lebih tinggi akan berkurang.
Metode Buddhis untuk melayani
orang sakit, seperti yang ditunjukkan dari teks-teks di atas, tidak hanya
menyatakan pentingnya pengobatan dan perawatan yang tepat, tetapi juga
pengendalian pikiran pasien ke pikiran-pikiran baik. Nampaknya terdapat suatu
keyakinan bahwa perhatian pada topik-topik berhubungan dengan Ajaran, terutama
pengingatan tentang kebajikan-kebajikan yang telah dikembangkan oleh seseorang,
memiliki sifat-sifat penyembuhan. Dalam kasus Sang Buddha dan para arahatta,
pengingatan ketujuh faktor bojjhanga telah mengembalikan kesehatan. Dalam kasus
bhikkhu Girimananda yang kemungkinan bukan arahatta pada waktu sakit, ajaran
sepuluh kesadaranlah yang telah mengembalikan kesehatannya. Anathapindika
adalah seorang sotapanna dan percakapan tentang sifat-sifat spesial merupakan
alat untuk kesembuhannya yang cepat. Mungkin saat seseorang diingatkan tentang
sifat-sifat batin yang telah diperolehnya, kegembiraan besar muncul dalam
pikirannya. Kegembiraan demikian mungkin mampu merubah kimia tubuh seseorang
dalam cara yang positif dan sehat.
Di sini kita diingatkan tentang
peristiwa sama yang diceritakan dalam Papañcasudani (MA.i,78). Seorang bhikkhu
digigit ular saat ia mendengarkan Dhamma. Ia tidak menghiraukan gigitan ular
dan tetap mendengarkan uraian Dhamma. Racun ular menyebar dan menjadi sangat
sakit. Selanjutnya ia merenungkan kesucian dari tindakan kebajikan yang telah
dilakukannya sejak pentahbisannya. Saat ia menyadari sifatnya yang tanpa noda,
rasa puas dan kegembiraan luar biasa muncul di dalamnya. Perubahan psikologis
yang sehat ini bertindak sebagai anti racun dan ia sembuh seketika.
Peristiwa-peristiwa ini nampaknya memperlihatkan bahwa pada waktu sakit parah,
perhatian ditujukan pada sifat-sifat spiritual seseorang, maka kegembiraan yang
luar biasa akan memenuhi pikirannya, dan faktor-faktor yang meningkatkan
kesehatan menjadi aktif dalam tubuh, mungkin dengan cara pengeluaran
hormon-hormon yang mengembalikan kesehatan. Mungkin dengan cara demikianlah
individu-individu berspiritual tinggi mendapatkan kesehatannya kembali saat
sutta-sutta yang tepat dibacakan.
Dalam Tipitaka Pali terdapat
banyak kejadian tentang pemberian nasihat kepada orang sakit menjelang
kematian. Membicarakan tentang kematian kepada pasien yang akan meninggal
adalah merupakan pokok pembicaraan yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, kenyataan
kematian dan kemungkinan segera datangnya kematian haruslah diterima tanpa
kepura-puraan dan pasien disiapkan untuk menghadapi kematian dengan keyakinan
dan ketenangan.
Saran yang diberikan oleh
Nakulamata kepada Nakulapita sangat bermanfaat dalam hal yang berhubungan
dengan ini (A.iii,295-98). Suatu waktu Nakulapita berpenyakit serius dan
istrinya Nakulamata memperhatikan bahwa ia gelisah dan cemas. Maka istrinya
menyarankannya: "Mohon tuan jangan menghadapi kematian dengan kegelisahan.
Kematian adalah sesuatu yang menyakitkan bagi seseorang yang gelisah. Sang
Buddha memandang rendah kematian dengan kegelisahan. Mungkin anda cemas bahwa
saya tidak akan mampu menyokong keluarga setelah kematian anda. Mohon jangan
berpikiran demikian. Saya mampu memintal dan menenun, dan saya akan mampu
membesarkan anak-anak jika anda tidak di dunia lagi. Mungkin anda cemas bahwa
saya akan menikah lagi setelah kematian anda. Mohon jangan berpikiran demikian.
Kita berdua menjalani kehidupan suci menurut peraturan mulia perumah tangga.
Maka jangan cemaskan hal ini. Mungkin anda cemas bahwa saya akan melalaikan
perhatian pada Buddha dan Sangha. Mohon jangan berpikir demikian. Saya akan
lebih setia pada Buddha dan Sangha setelah kematian anda. Mungkin anda cemas
bahwa saya akan mengabaikan pedoman-pedoman perilaku. Mohon jangan mempunyai
keraguan apa pun tentang hal ini. Saya adalah salah satu dari mereka yang
sepenuhnya berpraktek pada kebiasaan-kebiasaan moral yang dibuat untuk orang
awam, dan jika anda ingin, mohon bertanyalah pada Sang Buddha tentang hal ini.
Mungkin anda takut saya belum mencapai ketenangan batin. Mohon jangan berpikir
demikian. Saya adalah salah satu dari mereka yang telah mendapatkan ketenangan
batin sebanyak yang dapat dicapai oleh seorang perumah tangga. Jika anda
mempunyai keraguan tentang hal ini, Sang Buddha sedang di Bhesakalavana,
tanyalah kepada Beliau. Mungkin anda berpikiran bahwa saya belum mencapai
kemahiran dalam pembebasan sesuai Ajaran Sang Buddha, bahwa saya belum bebas
dari keraguan dan kebingungan tanpa bergantung pada yang lain. Jika anda ingin
kejelasan tentang hal ini, tanyalah pada Sang Buddha. Tetapi mohon jangan
menghadapi kematian dengan kecemasan, karena hal itu adalah sangat menyakitkan
dan dilarang oleh Sang Buddha." Diceritakan bahwa setelah Nakulapita
dinasehati oleh Nakulamata, ia mendapatkan kesehatannya kembali, penyakit
tersebut hilang dan tak pernah kambuh. Belakangan seluruh peristiwa ini
diceritakan kepada Sang Buddha, beliau memuji saran Nakulamata yang bijaksana.
Sotapattisamyutta berisikan
ajaran berharga tentang nasehat kepada orang sakit menjelang kematiannya
(S.v,408). Suatu waktu, Mahanama seorang suku Sakya menanyakan Sang Buddha
bagaimana seorang umat awam bijaksana harus menasehati umat awam bijaksana
lainnya yang sakit menjelang kematian. Harus dicatat di sini bahwa penasehat
dan pasien keduanya adalah umat awam Buddhis yang bijaksana. Sang Buddha
memberikan sebuah kotbah menyeluruh tentang bagaimana hal ini dilakukan.
Pertama, umat awam bijaksana harus menenangkan umat awam bijaksana yang sedang
sakit menjelang kematian dengan empat keyakinan: "Tenanglah teman, anda
mempunyai keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bahwa,
Sang Buddha telah sepenuhnya mencapai penerangan, Dhamma dibabarkan dengan
baik, dan Sangha bertata tertib baik. Anda juga telah mengembangkan
tindakan-tindakan bijaksana tak ternoda yang membantu konsentrasi." Maka
setelah menghibur pasien dengan empat keyakinan, ia seharusnya menanyakannya
apakah ia mempunyai kerinduan / keterikatan apapun pada orang tuanya. Jika ia
berkata ada, harus ditunjukkan bahwa kematian tentunya akan datang apakah ia
mempunyai keterikatan pada orang tuanya atau tidak. Maka, akan lebih baik
menghentikan keterikatan itu. Selanjutnya, jika ia berkata ia telah memutuskan
keterikatan pada orang tuanya, ia harus ditanyai apakah ia mempunyai kerinduan
/ keterikatan pada istri dan anak-anaknya. Dengan alasan sama, ia harus
diyakinkan untuk menghentikan keterikatan itu pula. Selanjutnya ia harus
ditanyai apakah ia mempunyai keterikatan pada nafsu-nafsu keinginan duniawi.
Jika ia berkata ada, ia harus diyakinkan bahwa keinginan-keinginan spiritual
adalah lebih tinggi daripada keinginan-keinginan manusia, dan harus didorong
untuk mencapai keinginan-keinginan spiritual. Selanjutnya, ia perlahan-lahan
dibimbing menuju tingkat keinginan spiritual dan saat ia sampai di surga
tertinggi dari alam kesadaran, perhatiannya dialihkan ke dunia Brahma. Jika ia
berkata ia telah menyelesaikan pencapaian dunia Brahma, ia seharusnya
dinasehati bahwa bahkan dunia Brahma bersifat tidak kekal dan kelahiran
kembali. Maka, lebih baik bercita-cita untuk penghentian kelahiran kembali.
Jika ia dapat mengonsentrasikan pikirannya pada penghentian kelahiran kembali,
maka Sang Buddha berkata tidak ada bedanya antara orang tersebut dan bhikkhu
yang telah mencapai pembebasan.
Tidak diragukan lagi bahwa
nasehat ini merupakan bentuk nasehat tertinggi yang dapat diberikan oleh orang
yang lebih maju kepada orang sakit menjelang kematian yang mempunyai spiritual
yang sama tingginya. Kotbah tersebut sangat jelas mengatakan bahwa sang pasien
harus semaju pemasuk arus, karena empat keyakinan atau faktor-faktor
penghiburan yang disebutkan di awal kotbah mirip dengan sifat dari seorang
pemasuk arus.
Cittasamyutta berisikan sebuah
peristiwa menarik tentang kematian seorang pengikut awam yang telah maju
batinnya (S.iv,302). Perumah tangga Citta adalah seorang tak lahir kembali (anagami,
A.iii,451). Saat ia sakit parah, sekelompok dewa pohon mengundang Citta untuk
menetapkan pikirannya agar menjadi raja seluruh alam (cakkavattiraja) karena
kebajikannya. Ia menolak karena alam itu juga tidak kekal. Walaupun berbaring
di tempat tidurnya, ia menasehati sanak keluarga yang mengelilinginya tentang
pentingnya pengembangan keyakinan pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan tentang
pentingnya kedermawanan, dan akhirnya ia meninggal.
Menurut Sotapattisamyutta, suatu
waktu Sang Buddha mengunjungi umat awam Dighavu yang sedang sakit parah
menjelang kematian di tempat tidurnya (S.v,344). Sang Guru menyarankannya agar
menetapkan perhatiannya pada keyakinan teguh akan sifat-sifat mulia Tiga
Permata dan bertekad bahwa ia dianugerahi dengan perilaku kebajikan yang tak
ternoda. Dighavu menjawab bahwa ini adalah sifat-sifat seorang pemasuk arus
yang telah ditemukan pada dirinya. Selanjutnya, Sang Buddha menyarankannya
untuk bertetap pada kebajikan-kebajikan tersebut dan mengembangkan enam sifat
yang membantu menuju pemahaman, yaitu kesadaran tentang ketidakkekalan semua
unsur benda, ketidakpuasan dari semua ketidakkekalan, tanpa intinya dari
ketidakpuasan, kesadaran dari penghilangan, pelepasan dan penghentian. Dighayu
menjawab bahwa sifat-sifat ini juga ditemukan dalam dirinya, tetapi ia cemas
bahwa ayahnya akan menjadi sedih saat ia meninggal. Selanjutnya ayahnya,
Jotipala, menyarankannya agar tidak cemas atas hal tersebut, dan perhatikan apa
yang dikatakan Sang Buddha. Sang Buddha pergi setelah menasehatinya dan
kemudian Dighavu segera meninggal. Belakangan Sang Buddha menyatakan bahwa
Dighavu meninggal sebagai seorang yang tak kembali lagi.
Brahmana Dhananjani adalah
seorang pemungut pajak yang tak benar, ia memeras raja dan masyarakat umum
(M.ii,184-96). Yang Mulia Sariputta pernah bertemu dengannya dan menasehatinya
tentang akibat-akibat dari kehidupan yang tidak benar. Segera setelah
Dhananjani sakit parah, Sariputta dipanggil olehnya. Setelah diberitahu tentang
kesehatannya, Dhananjani memberitahu Sariputta bahwa ia mempunyai sakit kepala
yang tak tertahan. Selanjutnya Sariputta berbincang dengannya, perlahan-lahan
menuntun perhatiannya dari alam kehidupan lebih rendah ke lebih tinggi sampai
sejauh alam Brahma. Setelah mengalihkan perhatian pasien yang diambang kematian
ke alam Brahma, Sariputta melanjutkan menjelaskan jalan menuju pencapaian alam
Brahma, yaitu pengembangan penuh brahmavihara -- cinta kasih universal, belas
kasihan, simpati dan keseimbangan batin -- agar meliputi semua penjuru.
Sariputta pergi dan tidak lama kemudian Dhananjani meninggal. Dilaporkan bahwa
ia dilahirkan kembali di alam Brahma. Belakangan saat peristiwa tersebut
diceritakan pada Sang Buddha, Beliau menemukan kesalahan Sariputta karena tidak
membimbing Dhananjani menuju jalan spiritual yang lebih jauh lagi.
Sutta ini menunjukkan bahwa
manusia yang mempunyai mata pencaharian tidak benar juga dapat dibimbing menuju
suatu kelahiran kembali yang lebih bahagia dengan pemberian nasehat pada saat
penting sebelum menjelang kematian. Sangat diragukan apakah setiap pelaku
kejahatan dapat dibimbing menuju kelahiran kembali dalam alam bahagia. Mungkin
sifat-sifat baik Dhananjani melebihi perbuatan-perbuatan buruknya (Dhp.173) dan
mungkin itulah sebabnya mengapa seorang arahatta dapat membimbingnya menuju
kelahiran kembali dalam alam bahagia pada saat kematian.
Hal ini dapat disimpulkan dari
fakta-fakta yang diceritakan dalam sutta (M.ii,185). Saat Sariputta sendiri
sedang melakukan perjalanan jauh di Dakkhinapata, ia meminta keterangan tentang
kesehatan Sang Buddha dari seorang bhikkhu yang berasal dari Rajagaha, saat itu
pula Sariputta sengaja meminta keterangan tentang semangat pencarian spiritual
Dhananjani. Kemungkinan besar bahwa Dhananjani adalah seorang pendukung Sangha
yang setia saat istri pertamanya, seorang wanita yang mempunyai keyakinan
penuh, masih hidup. Istri keduanya adalah wanita yang tidak mempunyai
keyakinan. Saat Sariputta mendengar bahwa Dhananjani sedang lalai, ia cemas,
dan memutuskan untuk berbicara dengan Dhananjani jika ada kesempatan bertemu
dengannya.
Bagian penting lain yang patut dicatat
dalam kotbah ini adalah Yang Mulia Sariputta memulai kotbah dari alam kelahiran
yang paling rendah, dan satu per satu naik ke atas sampai sejauh alam Brahma.
Mungkin ia memulai dari neraka-neraka karena Dhananjani telah menurun ke
tingkat itu. Sariputta telah membantunya mengingat perbuatan-perbuatan baik
sebelumnya, dan juga telah menarik perhatiannya ke kotbah Dhamma yang
berkaitan, dan mungkin kotbah Dhamma tersebut telah diberikan oleh Sariputta
kepadanya hanya beberapa hari sebelum ia jatuh sakit. Maka dengan menarik
perhatian pada potensi spiritual yang tersembunyi di dalamnya, Sariputta dapat
membantu Dhananjani mencapai kelahiran kembali yang bahagia dengan nasehatnya
di menit terakhir.
Di sini kita diingatkan dengan
peristiwa Mattakundali muda (DhpA.i,26). Saat ia sedang berbaring sekarat di
tempat tidurnya, Yang Terberkati muncul dan Mattakundali menjadi sangat
gembira, kegembiraan tersebut membangkitkan keyakinan tinggi pada Sang Buddha.
Segera setelah meninggal, ia dilahirkan kembali di alam surga.
Sebuah sutta di Sotapattisamyutta
(S.v,386) menguraikan bahwa orang biasa di ambang kematian melihat bahwa ia
tidak mempunyai keyakinan pada sifat-sifat mulia Buddha, Dhamma dan Sangha, dan
ia menjalani kehidupan yang tak bermoral, maka ketakutan besar atas kematian
dan kegelisahan akan muncul di dalamnya. Tetapi seorang yang mempunyai
keyakinan teguh pada sifat-sifat mulia Tiga Permata, dan yang mempunyai
perilaku tak ternoda, tidak akan mengalami ketakutan dan kegelisahan demikian.
Nampaknya kesadaran akan rasa bersalah menyebabkan penderitaan pada saat
kematian. Jika ketakutan dan kecemasan berada pada saat penting ini, maka
kelahiran kembali pasti akan terjadi di alam yang seimbang dan sesuai dengan
pengalaman yang menderita itu.
Tepatlah di sini untuk mencatat
sebuah perbincangan antara Mahanama seorang Sakya dan Sang Buddha mengenai
nasib seseorang yang bertemu dengan kematian mendadak (S.v,369). Mahanama
memberitahu Sang Buddha bahwa saat ia datang ke vihara yang bersuasana tenang
dan berhubungan dengan para bhikkhu saleh yang mempunyai sifat-sifat mulia, ia
merasa cukup tenang dan memiliki pengendalian diri. Tetapi saat ia pergi ke
jalan-jalan Kapilavatthu sibuk yang mempunyai lalu lintas ramai, ia mempunyai
perasaan takut bahwa ia akan mengalami kematian mendadak dari kecelakaan lalu
lintas. Sang Buddha meyakinkannya bahwa seorang yang telah mengembangkan
kebajikan-kebajikan moral dan menjalani kehidupan benar tidak perlu menanggapi
ketakutan demikian. Beliau menjelaskan situasi tersebut dengan sebuah
perumpamaan. Jika satu pot minyak mentega pecah setelah tenggelam di air,
kepingan pot akan tenggelam ke dalam sungai, tetapi minyak mentega akan muncul
di permukaan. Dengan cara yang sama, tubuh akan hancur, tetapi batin tak
ternoda akan timbul seperti minyak mentega.
Sutta-sutta seperti
Sankharuppatti, (M.iii,99) Kukkuravatika (M.i,387) dan Tevijja (D.i,235)
menekankan ide yang sama. Kelahiran kembali umumnya bergantung pada
pikiran-pikiran yang paling sering muncul selama kehidupan. Jika seseorang
mempunyai pikiran-pikiran dan watak yang cocok dengan binatang, seperti anjing
atau kerbau dalam Sutta Kukkuravatika, maka kemungkinan besar seseorang akan
dilahirkan di antara binatang-binatang ini, yaitu di antara makhluk hidup yang
mempunyai watak yang mirip. Sebaliknya, jika seseorang membiasakan
pikiran-pikiran dan watak-watak yang dapat disamakan dengan para Brahma, dengan
pengembangan perasaan-perasaan mulia seperti cinta kasih dan belas kasih, dia
mempunyai kesempatan baik terlahir di antara para Brahma. Maka persiapan untuk
kematian benar-benar harus dilakukan saat hidup. Walaupun saat kematian datang
pikiran dibimbing menuju kelahiran kembali lebih tinggi, seseorang perlu
mempersiapkan keyakinan yang cocok dengan kebajikan dan pemahaman manusia --
inilah yang dimaksudkan dengan mempunyai keyakinan pada Buddha, Dhamma dan
Sangha -- dan pengembangan kebiasaan-kebiasaan moral. Jika seseorang tidak
mempunyai kebajikan, pembimbingan pola pikiran menuju tingkat lebih tinggi pada
saat jam kematian akan menjadi sukar. Tetapi, bagaimanapun susah dan efektif
pembimbingan tersebut, mengundang bhikkhu saat pasien menjelang kematian adalah
suatu kebiasaan umat Buddhis dengan harapan bahwa pembacaan paritta tertentu
akan membantu pasien mengembangkan keyakinan dan meningkatkan
pikiran-pikirannya ke tingkat spiritual lebih tinggi.
Kita diingatkan di sini bahwa
menurut Vinaya (iii,8), beberapa Buddha sebelumnya seperti Vessabhu yang
pembebasannya tidak berakhir lama, sering mengajarkan para pengikut Mereka melihat
ke dalam pikiran mereka dengan memakai kekuatan-kekuatan telepati dan
pembimbingan pola-pola pikiran mereka: "Pikirlah demikian, jangan berpikir
demikian, perhatikan ini, jangan perhatikan ini, hentikan ini, kembangkan
ini," dll. Mungkin Buddha Gotama dan murid-murid terkenalnya memakai
teknik ini membimbing pola-pola pikiran para pengikutNya yang patuh di saat
kematian. Pada saat-saat biasa mereka nampaknya lebih menyukai memakai
teknik-teknik umum dengan khotbah-khotbah ajaran yang panjang daripada meditasi
bimbingan dengan penglihatan ke dalam pola pikiran individu.
Pertanyaan yang mungkin timbul
adalah seberapa effektif bimbingan spiritual jika pasien menjelang kematian
sedang tidak sadar. Sebenarnya apa yang penting di sini adalah kita benar-benar
tidak mengetahui kondisi batin pasien pada saat kematian. Para dokter dan
penonton mungkin menyimpulkan bahwa pasien tidak sadar karena ia tidak bereaksi
terhadap sekelilingnya dan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Lima
inderanya mungkin sebagian atau sama sekali tidak berfungsi, tetapi tidak ada
yang memastikan apakah fungsi pikirannya aktif atau tidak. Kita tentunya tidak
tahu potensi-potensi spesial apa yang ada dalam pikirannya saat kematian.
Kemungkinan besar bahwa bagian pikiran adalah yang paling aktif pada saat yang
penting ini. Mungkin pada saat inilah seseorang mempunyai perjuangan batin yang
paling keras, keinginan hidup yang kuat yang berasal dari kebiasaan kuat
menentang dan memprotes kematian.
Dugaan kita adalah saat seseorang
sangat takut menghadapi kematian, maka keinginan untuk hidup menjadi kuat.
Ketakutan atas kematian sangat besar saat perasaan bersalah seseorang besar,
ketakutan bahwa seseorang telah menghamburkan kesempatan baik dari kehidupan
sebagai manusia, suatu kesempatan yang dapat digunakan dengan baik untuk
perkembangan spiritual. Sebaliknya, jika seseorang telah menggunakan kesempatan
kehidupan sebagai manusia dengan baik untuk perkembangan spiritual, seseorang
dapat menghadapi kematian yang tak dapat dihindari dengan ketenangan,
kesenangan dan kepuasan. Kelahiran kembali seseorang nampaknya sesuai dengan
potensi spiritual seseorang yang dalam istilah Buddhis dinamakan kamma.
Sangat tepat untuk menyimpulkan
karangan ini dengan memikirkan apa yang harus kita lakukan saat kita
mengunjungi pasien menjelang kematian. Sikap normal kita adalah kesedihan dan
perasaan kasihan, tetapi Buddhisme menganggap salah mempunyai pikiran-pikiran
negatif pada saat demikian. Pendapat saya adalah akan lebih membantu bagi
pasien menjelang kematian dan bagi pasien siapapun, jika kita memancarkan
pikiran-pikiran metta, cinta kasih kepadanya. Karena pikiran pasien menjelang
kematian mungkin sedang bekerja pada saat penting ini, tak terhalangi oleh
keterbatasan yang dibebankan oleh fungsi-fungsi jasmani, kemungkinan bahwa
batin seseorang akan lebih sensitif dan mudah menerima gelombang-gelombang
pikiran spiritual di sekitarnya. Jika kesedihan dan tangisan menghasilkan
gelombang pikiran negatif, maka orang yang akan meninggal mungkin terpengaruh.
Tetapi jika pikiran-pikiran baik tentang cinta kasih dipancarkan,
pikiran-pikiran demikian dapat berfungsi sebagai penenang batin yang
menghilangkan penderitaan dan kecemasan dari datangnya kematian dan dapat
menyelubungi pikiran seseorang dalam selimut yang hangat, tenang dan
melindungi.
Singkatan-singkatan :
Semua petunjuk dalam teks menunjuk ke edisi-edisi dari the Pali Text Society,
Oxford.
A ........... Anguttara Nikaya
D ............Digha Nikaya
Dhp ....... Dhammapada
DhpA ..... Dhammapada Atthakatha
M ........... Majjhima Nikaya
MA ......... Majjhima Nikaya Atthakatha
S ........... Samyutta Nikaya
Vin ......... Vinaya Pitaka
Tentang pengarang :
Lily de Silva adalah profesor dari Pali dan Buddhist Studi di the Universitas
Peradeniya di Sri Lanka. Seorang penyumbang tetap pelajar Buddhis dan
majalah-majalah populer, ia juga editor dari Digha Nikaya Tika yang diterbitkan
oleh Pali Text Society. Penerbitan BPS sebelumnya termasuk One Foot in the
World (Wheel No. 337/338), The Self-Made Private Prison (Bodhi Leaves No. 120),
dan Radical Therapy (Bodhi Leaves No. 123).
Sumber : http://www.accesstoinsight.org/lib/bps/leaves/bl132.html
Diterjemahkan oleh : Jenny H - Surabaya
Editor : Bhikkhu Uttamo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar